Monday, August 16, 2010

Batu Besar

BATU BESAR

Beberapa bulan yang lalu seorang guru BK di sekolahku di SMA Negeri 42 Jakarta sedang memberi pelajaran tentang manajemen waktu pada para murid kelas XII IPA 1. Dengan penuh semangat ia berdiri didepan kelas dan berkata, “ Okay, sekarang waktunya untuk quiz”. Kemudian ia mengeluarkan sebuah ember kosong dan meletakkannya di meja. Kemudian ia mengisi ember kosong tersebut dengan batu sebesar sekepalan tangan yang diambilnya dari dalam tas kerjanya. Ia mengisi terus hingga tidak ada lagi batu yang cukup untuk dimasukkan ke dalam ember. Ia bertanya pada kelas, “Menurut kalian, apakah ember ini telah penuh?”

Semua anak-anak sekelas termasuk aku serentak berkata, “Ya!”

Guru itu bertanya kembali, “Sungguhkan demikian?” Kemudian dari dalam meja ia mengeluarkan sekantung kerikil kecil. Ia menuangkan kerikil-kerikil itu ke dalam ember lalu mengocok-ngocok ember itu sehingga kerikil-kerikil itu turun ke bawah mengisi celah-celah kosong diantara batu-batu. Kemudian, sekali lagi ia bertanya pada kelas, “Nah, apakah sekarang ember ini sudah penuh?”

Kali ini semua murid terdiam. Seorang temanku menjawab,”Mungkin tidak.”

“Bagus sekali,” sahut guru. Kemudian ia mengeluarkan sekantung pasir dan menuangkan ke dalam ember. Pasir itu berjatuhan mengisi celah-celah kosong antara batu dan kerikil. Sekali lagi, ia bertanya pada kelas, “Baiklah, apakah sekarang ember ini sudah penuh?”

“Belum!” sahut seluruh murid sekelas.

Sekali lagi ia berkata, “Bagus. Bagus sekali.” Kemudian ia meraih sebotol air dan mulai menuangkan airnya ke dalam ember sampai ke bibir ember. Lalu ia menoleh ke kelas da bertanya, “Tahukah kalian apa maksud ilustrasi ini?”

Saya dengan semangat mengacungkan jari dan berkata, “Maksudnya jangan meremhkan hal yang sekecil apapun itu karena kita tidak tahu, bias jadi dari hal yang kecil itu yang nantinya menjadi penentu keberhasilan atau kesuksesan seseorang”

“Bagus-bagus, tapi bukan itu maksudnya”, sahut guru itu, “Ia ada yang tahu lagi yang lainnya?”

Semuanya terdiam, kemudian guru itu pun mulai berkata “Okey, kalau tidak ada yang tahu, kenyataan dari ilustrasi ini mengajarkan pada kita bahwa: bila anda tidak memasukkan “batu besar” terlebih dahulu, maka kalian tidak akan bisa memasukkan semuanya.”

Apa yang dimaksud dengan “Batu Besar” dalam hidup kalian? Adalah Keluarga kalian; Pasangan kalian; Pendidikan kalian; Hal-hal yang penting dalam hidup kalian; mengajarkan sesuatu pada orang lain; Melakukan pekerjaan yang kau cintai; waktu untuk diri sendiri; kesehatan kalian; teman kalian; atau semua yang berharga.

Ingatlah untuk selalu memasukkan “Batu Besar” pertama kali atau kalian akan kehilangan semuanya. Bila kalian mengisinya dengan hakl-hal kecil (semacam kerikil dan pasir) maka hidup anda akan penuh dengan hal-hal kecil yang merisaukan dan ini semestinya tidak perlu. Karena dengan demikian kalian tidak akan pernah memiliki waktu yang sesungguhnya anda perlukan untuk hal-hal besar dan penting.

Oleh karena itu, setiap pagi dan malam, ketika akan merenungkan cerita pendek ini, tanyalah pada diri anda sendiri : “Apakah “Batu Besar” dalam hidup saya?” Lalu kerjakan itu pertama kali.”

SUMBER SEMANGATKU

SUMBER SEMANGATKU!!!


Namaku adalah Mohammad Wahyu Sautomo. Sejak ibuku melahirkanku di Jakarta 19 tahun silam, aku telah menyusahkannya. Karena aku dilahirkan dalam keadaan sungsang dan tidak normal. Aku dibesarkan dengan penuh cinta dari kedua orang tuaku. Hidup dengan tiga saudara perempuan, menjadikan aku sebagai anak kesayangan dan kebanggan orang tuaku, karena aku hanya satu-satunya anak laki-laki dalam keluargaku ini. Ayahku dulunya seorang HRD disebuah perusahaan sarung jok mobil sejak tahun 1990. Dikarenakan krisis moneter tahun 1998 membuat perusahaan itu bangkrut dan tutup pada tahun 2007. Sejak itu, ayahku menjadi seorang pengangguran. Satu-satunya sumber penghasilan keluarga telah tiada. Keluarga kita mengalami masa yang benar-benar sulit. Lebih ironisnya lagi, beberapa bulan setelah di PHK, ayahku terkena stroke dan tidak dapat berjalan selama beberapa bulan. Saat itu, aku yang masih duduk dibangku kelas 1 SMA terancam harus berhenti sekolah. Karena biaya yang begitu mahal dan tak mampu. Keadaan ini membuat aku patah semangat dan putus asa. Tapi tidak untuk ibuku. Dia rela berjalan keliling-keliling dari rumah ke rumah berjualan gorengan, pakaian dan snack-snack ringan setiap hari dari pagi, disambung sore hanya untuk membiayai sekolahku dan kebutuhan hidup. Cucuran keringat dan letih yang dirasa tiap pulang,setiap hari, tak melunturkan semangatnya sedikit pun. Aku begitu terharu dan merasa begitu prihatin setiap kali melhat ibuku pulang dari berjualan dengan segudang rasa letih yang dipikulnya.

Sejak saat itu aku dan kakakku mulai berusaha berpikir bagaimana supaya bisa minimal membiayai sekolah kita sendiri dan mengurangi sedikit beban orang tuaku. Dimulai dari berjualan koran dipinggiran jalan, berjualan plastic dan aqua di pasar hingga akhirnya Allah memberikan aku jalan supaya aku menjadi guru privat di daerah sekitar tempat tinggalku. Kakakku pun ikut menjadi guru privat seperti aku. Semangatku mulai bangkit dan bergelora. Semenjak saat itu, aku sadar dan merasakan betapa beratnya perjuangan mereka semua. Kedua orang tuaku adalah kekuatanku. Mereka adalah sumber semangatku. Saat aku sedang pusing dengan begitu banyak tugas, hafalan rumus-rumus dan semua masalah disekolah, aku selalu teringat wajah ibuku dirumah yang bercucuran keringat tetap bersemangat tanpa pernah mengeluh sedikit pun. Dan itulah yang terus membuat aku semangat. Semangat bahwa aku ingin menjadi orang yang sukses dan berhasil suatu kelak nanti. Sehingga dapat membahagiakan kedua orang tuaku, dan ibuku tak perlu berjualan lagi. Tak peduli, betapa beratnya jalan yang aku harus lalui, aku akan terus berusaha dan aku ta ingin mereka tahu seberapa besar perjuanganku, seperti ibuku yang tak pernah tentang seberapa besar perjuangannya menghidupi keluarga ini.

Hingga Allah menakdirkan ayahku bisa sehat kembali, Ayahku mulai mencari kerjaan dan berwirausaha hingga kini dan Alhamdulillah keluargaku mulai berangsur-angsur membaik. Tapi semangatku akan tetap membara buat kedua orang tuaku.